Dalam lanskap digital yang berkembang pesat saat ini, perusahaan berlomba-lomba menemukan solusi yang membuat layanan pelanggan lebih cepat, lebih efisien, dan lebih hemat biaya. Di antara alat yang paling banyak diadopsi adalah chatbot dan agen kecerdasan buatan (AI), teknologi yang seringkali membingungkan tetapi memiliki fungsi yang berbeda dan menghasilkan hasil yang berbeda pula.
Spesialis otomatisasi Luciana Papini menjelaskan perbedaan antara kedua pendekatan tersebut, risiko penyalahgunaan, dan cara menggabungkannya secara strategis untuk meningkatkan skala layanan pelanggan tanpa mengorbankan pengalaman konsumen. "Banyak perusahaan yang menyamakan chatbot dengan AI. Hal ini justru mengorbankan strategi. Setiap alat memiliki perannya masing-masing, dan mengetahui di mana harus menggunakan masing-masing alat akan menghindari pemborosan dan meningkatkan keuntungan ," ujarnya.
Apa itu chatbot dan agen AI?
Chatbot adalah program yang didasarkan pada aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Mereka merespons perintah tertentu, seperti "jam buka" atau "duplikat faktur", berdasarkan pertanyaan umum yang telah dikonfigurasi. Sederhana, cepat, dan berbiaya rendah, chatbot ideal untuk tugas-tugas yang berulang dan terstruktur.
Agen AI melangkah lebih jauh. Mereka menggunakan teknik-teknik seperti pemrosesan bahasa alami (NLP), pembelajaran mesin, dan analisis kontekstual untuk menafsirkan pesan, mengadaptasi respons, dan belajar seiring waktu. Hal ini memungkinkan interaksi yang lebih mirip manusia, yang mampu menangani berbagai skenario dan variasi bahasa.
"Sementara chatbot beroperasi dengan skrip, agen AI bekerja dengan kecerdasan. Ia mengenali pola, mengidentifikasi maksud, dan meningkatkan pengalaman pengguna di setiap interaksi ," jelas Papini.
Kapan Anda harus menggunakan masing-masingnya?
Pilihan antara satu dan yang lainnya bergantung pada kompleksitas prosesnya. Menurut Luciana, alur standar dengan variasi rendah, seperti pertanyaan saldo, status pesanan, atau informasi kontak, bekerja sangat baik dengan chatbot. Namun, situasi yang membutuhkan interpretasi konteks, respons yang dipersonalisasi, dan pemahaman berbagai maksud membutuhkan agen AI.
Ia memperingatkan bahwa kesalahan paling umum yang dilakukan perusahaan adalah mencoba menerapkan AI untuk tugas-tugas sederhana atau mencoba memecahkan masalah kompleks hanya dengan menggunakan chatbot. "AI yang diterapkan dengan buruk itu mahal. Chatbot yang digunakan melebihi kebutuhan justru membuat pelanggan frustrasi. Idealnya, kedua solusi tersebut harus dikombinasikan secara cerdas, menciptakan perjalanan yang lancar bagi pengguna dan efisien bagi bisnis," ujarnya.
Hasil untuk perusahaan
Menurut McKinsey, perusahaan yang mengintegrasikan AI dan otomatisasi ke dalam layanan pelanggan mencatat peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 20% dan pengurangan biaya operasional hingga 30%. Beberapa manfaatnya antara lain:
- Pengurangan waktu layanan rata-rata
- Peningkatan pengalaman pelanggan
- Optimalisasi tim dukungan
- Meningkatkan tingkat konversi penjualan
- Tersedia 24 jam sehari, tanpa biaya tambahan.
Menurut Luciana, keunggulan ini tidak terbatas pada perusahaan besar. "Bahkan seorang wirausaha mikro pun bisa memulai dengan chatbot sederhana di WhatsApp. Yang penting adalah menentukan tujuan dengan jelas dan memilih alat yang tepat ," ujarnya.
Proyeksi dari International Data Corporation (IDC) menunjukkan bahwa pada tahun 2026, 75% perusahaan besar akan mengadopsi AI yang terintegrasi dengan otomatisasi untuk pengambilan keputusan secara real-time. Namun, kemajuan ini membutuhkan persiapan teknis. "Manajer otomatisasi perlu memahami bagaimana AI cocok dengan alur kerja, bagaimana AI dapat meningkatkan pengalaman pelanggan, dan bagaimana data yang dihasilkan memandu keputusan bisnis. Peran ini semakin strategis ," pungkasnya.

